Menjaga Bumi Lewat Clodi

By Nabila Ghaida Zia - Agustus 29, 2020

 



Cahaya rembulan telah membulat di angkasa. Cahayanya menembus dalamnya lautan. Terlihat dua penyu dewasa terus bergerak menuju darat. Mereka berjalan perlahan demi perlahan mencari tempat dimana si betina bertelur. 

Sudah dua bulan, kini saatnya mereka menjemput anak-anak mereka di sarangnya. Ketika sampai di pinggir pantai di tempat si betina bertelur, terlihat anak-anaknya sedang berusaha keluar dari sarang pasir. 

"Anak-anakku ayo kita pulang." Seru ayah penyu pada anak-anaknya. 

"Hore, kita akan pulang ke rumah." Seru anak-anaknya bersemangat. 

Orang tua penyu bersama kelima anaknya berjalan perlahan dipandu cahaya bulan menuju ke laut. Sesekali si anak penyu hampir ketinggalan rombongan karena terganggu dengan cahaya lampu yang ada di sekitar pantai. 

"Ayo nak, nanti kamu bisa tertinggal." Seru ibunya pada anak-anaknya.

"Iya bu, kenapa cahayanya banyak sekali, aku jadi bingung bu." jawab salah satu anaknya.

"Tenang nak, nanti di rumah kita tak akan ada cahaya sebanyak ini, yang ada hanya cahaya rembulan. Itu saja hanya sebulan sekali." Ucap ayahnya menenangkan dan mengiringi anak-anaknya agar tak terganggu dengan cahaya lain. 

Pelan jalan mereka namun mereka segera masuk ke dalam laut. Anak-anak kegirangan karena mereka sebentar lagi akan berada di rumah mereka. Mereka terus mengamati benda-benda yang ada di laut.

"Wow, sungguh indah lautan. Aku tak sabar melihat rumah kita." seru salah seorang anak.

"Tenang nak, tak akan lama lagi kita sampai di rumah." Ayahnya menenangkan.

Rombongan plankton pun terlihat di depan mata mereka. Sang anak pun tak sabar untuk memakan mereka karena perjalanan yang jauh membuat mereka lapar. 

Tiba-tiba tak lama setelah adanya rombongan plankton , datang benda-benda aneh beraneka rupa dan ukuran menghalau perjalanan mereka. Sang anak mengendus-endus benda-benda yang datang itu dan tak sadar memakan benda-benda itu. 

Ayah dan ibunya yang sedang melahap plankton dan beberapa ubur-ubur tak sadar bahwa anak mereka sedang memakan benda yang berbahaya, plastik.

"Ibu makanan di laut baunya dan rasanya enak ya." Seru salah seorang anak.

"Memang seperti itu di laut nak, eh sebentar, planktonnya kan adanya hanya di sebelah sini, bukan ditempat kalian duduk tadi. Lantas apa yang kalian makan?" Tiba-tiba ibunya menjadi cemas.

Anak-anak yang polos pun juga kebingungan.

"Kami makan ini bu." Mereka menunjukkan sampah-sampah plastik yang sedari tadi dimakannya.

"Apa! itu bukan makanan nak. Kalian sudah makan sejak tadi?"

Mereka mengangguk. 

"Itu sampah plastik nak, bukan makanan kalian!" Sang ayah tak kalah cemasnya.

"Ayo, hentikan makannya! " Perintah ayah dan ibu kompak.

Mereka pun menghentikan makan plastik dan segera memuntahkan apa yang masih bisa dimuntahkan. 

Untunglah anak-anak penyu tidak apa-apa. Mereka pun segera melanjutkan perjalanan di tengah lautan yang penuh sampah plastik yang mengambang. 

Suasana laut tak seindah awal perjalanan tadi, berbagai barang-barang plastik mengambang membuat pemandangan menjadi tak indah. Tak lama kemudian rumah mereka sudah terlihat.

"Anak-anak lihatlah rumah kita sudah ada di depan." Sorak sang ayah gembira.

"Hore!" Mereka bersorak gembira.

Baru saja mereka hendak menuju ke rumahnya tiba-tiba, Boom! 

Ada bahan peledak yang menghancurkan rumah mereka, bahan peledak itu berasal dari manusia yang hendak cepat-cepat menangkap ikan.

Rumah si penyu yang begitu indah hancur dalam sekejap menyisakan kepedihan di hati orang tua penyu dan anak-anaknya.

"Mengapa manusia begitu kejamnya pada kita? mengapa mereka menghancurkan rumah kita?" Ucap seorang anak penyu sedih.

Mereka semua hanya bisa rela melihat rumahnya hancur dan lingkungannya tercemari. 

Kampanye Video Turtle Journey dari Greenpeace UK 

Cerita diatas terinspirasi dari sebuah video kampanye yang dibuat oleh Greenpeace UK yang berkolaborasi dengan Aardmans Animations. 

Video tersebut dibuat atas keprihatinan karena adanya kerusakan iklim, plastik, pengeboran minyak dan penangkapan ikan besar-besaran dengan menggunakan bahan peledak. 

Videonya sangat menyentuh hati, untuk videonya bisa kamu lihat disini: 


Cerita dari video turtle journey itu menceritakan tentang perjalanan penyu yang akan pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan ada banyak halangan yang menghadang seperti adanya ikan hiu, sampah-sampah, pengeboran dan adanya peledak untuk menangkap ikan.

Ada pesan kuat yang ditampilkan dalam video itu bahwa ternyata aktivitas manusia selama ini telah mengancam kehidupan hewan-hewan yang ada di laut. Tak hanya penyu namun juga ikan lainnya. Keadaan penyu tersebut merepresentasikan kondisi laut kita sebenarnya. 

Menurut Greenpeace , sebanyak 6 dari 7 penyu yang ada di laut mengalami ancaman kepunahan karena kerusakan laut yang dibuat oleh manusia. Bahkan kehidupan di laut berpotensi dua kali lebih cepat hilang dari kehidupan di darat. 

Bayangkan, bila keluarga penyu tadi adalah keluargamu, apa yang akan kamu rasakan? Sedih? Marah? Pasrah? Mengutuk kejahatan? 

Kalau bisa berbicara maka bisa saja penyu dan ikan di laut sudah mengutuk perbuatan manusia yang sudah merusak habitat mereka. Namun sayang mereka hanya bisa diam dan pasrah. Justru kitalah yang harus bergerak untuk membantu mereka hidup lebih baik. 

Terutama masalah sampah plastik , masalah sampah ini menjadi penyumbang besar pencemaran di laut dan berpengaruh pada kehidupan di laut. Mau tau fakta tentang sampah plastik yang berpengaruh bagi kehidupan biota laut? Yuk baca fakta berikut:

Fakta Pengaruh Sampah Plastik Bagi Kehidupan Biota Laut

Webinar Perubahan Iklim 
sumber: Instagram @kbr.id


Hari Jumat lalu, aku ikut sebuah webinar yang sangat menarik dan membuka mata sekali. Ada banyak fakta kerusakan iklim yang ternyata buat kita bergumam, 

"Oh ternyata ada ya."

Nah acara yang aku ikuti berjudul "Suara Kita Untuk Perubahan Iklim." Acara ini diadakan oleh Kantor Berita Radio. Acara webinar ini menghadirkan narasumber yang keren yang menceritakan terkait upaya mereka dalam mencegah perubahan iklim. 

Ada Kak Davina Veronica seorang pegiat lingkungan dan perlindungan satwa yang bercerita tentang kondisi orang hutan ditengah maraknya hutan yang terus mengalami kerusakan. Kata yang sangat membuat hatiku trenyuh adalah 

"Orang hutan dan hewan yang habitatnya di hutan terus digusur oleh aktivitas manusia. Seolah mereka adalah pengungsi."

Deg! hatiku merasa trenyuh. Padahal Allah menciptakan manusia, hewan dan tumbuhan diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Bumi ini bukan hanya milik manusia saja. 

Selain itu, ada seorang blogger yang berdomisili di Yogyakarta bernama Siti Hairul Dayah  yang membagikan kisahnya dalam kontribusi mencegah akibat perubahan iklim dengan menggunakan menstrual cup. Alasannya karena rumahnya yang dekat dengan tempat pembuangan sampah membuatnya prihatin akan banyaknya sampah pembalut. 

Narasumber lainnya berasal dari ketua umum komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN), Mbak Widyanti Yuliandari yang mendorong para blogger untuk berkontribusi terkait perubahan iklim lewat tulisannya. Karena masih jarang blogger yang mengangkat tema lingkungan dalam tulisannya. 

Tak hanya itu, ada narasumber yang merupakan seorang direktur eksekutif Yayasan Strategi Konsevasi Indonesia, Mubariq Ahmad. Beliau menjelaskan bahwa perubahan iklim ini ternyata imbasnya bukan hanya pada lingkungan namun ada juga dampak sosial.

Dampak sosial yang timbul adalah adanya kesenjangan sosial. Orang kaya bisa saja membeli AC untuk mendinginkan rumahnya ditengah bumi yang semakin memanas. Tentu ini berbeda bagi mereka yang kalangan ke bawah, mereka tak mampu membeli AC. 

Nah, kisah yang relevan dengan kampanye turtle journey adalah kisah dari Zul Karnedi, seorang penyelamat penyu dari Alun Utara Bengkulu. Beliau bercerita bahwa ia pernah menemukan penyu yang meninggal dan ketika dibuka perutnya terdapat banyak sekali plastik. 

Penyu Kecil
Sumber: pexels.com



Awalnya Pak Zul adalah seorang pemburu penyu. Namun semenjak mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Bengkulu membuat hatinya terketuk. Ia kemudian bertekad untuk melestarikan penyu. 

Pada mulanya tindakannya dicibir masyarakat namun semangatnya tak pernah surut hingga perjuangannya membuahkan hasil. Banyak penyu yang terselamatkan. 

Nah, pada tulisan ini kita akan fokus pada dampak plastik terhadap penyu dan kaitannya dengan kehidupan biota laut. 

Menurut situs national geographic, menyebutkan bahwa ada sebuah suaka alam di Florida, Amerika Serikat yang membagikan gambar menyedihkan dan memprihatinkan tentang penyu kecil yang mati setelah mengonsumsi 100 potong plastik. 

Bulan Oktober bisa dikatakan sebagai musim washback, dimana penyu-penyu muda terdampar di pantai timur Amerika Serikat karena angin dan ombak kencang. 

Nah, saat musim washback ini banyak penyu muda yang tidak bisa bertahan hidup juga. Pada tahun 2019 saja ditemukan 120 penyu yang terdampar dan 40 diantaranya mati. Ketika dilakukan nekropsi, penyu kecil tersebut pasti memiliki potongan plastik dalam perutnya. 

Wah, ngeri banget ya. Ternyata plastik yang kita gunakan sehari-hari dan ketika sudah dibuang bukan berarti hilang begitu saja. Plastik itu berpindah tempat hingga berujung pada laut. 

Plastik tersebut bisa menghilang ternyata karena dimakan hewan biota laut. Sebuah hal yang ironi bukan? 

Sudahkah kita sadar sebagai individu kalau apa yang kita lakukan ternyata tak hanya berdampak pada diri kita saja namun juga berdampak pada lingkungan dan hewan yang ada di laut terjauh sekalipun.

Coba renungkan, berapa banyak plastik yang sudah kita gunakan dalam sehari, sebulan bahkan setahun? Kalau dihitung tentu ada ribuan bahkan jutaan. 

Apalagi buat para ibu-ibu yang sudah memiliki bayi, berapa sampah popok sekali pakai yang sudah dipakai? 

Katakanlah satu hari bayi kita menggunakan popok sekali pakai sebanyak 6 popok. Karena satu popok untuk durasi empat jam. Satu hari 6 popok maka satu bulan sudah 180 popok. Coba kamu kalikan dengan 12 bulan? Maka akan ketemu angka 2160 sampah popok plastik sekali pakai. 

Mau tau fakta terkait sampah popok plastik sekali pakai? 

Fakta Sampah Popok Sekali Pakai 

Popok Sekali Pakai
sumber: pexels.com


Hayo, siapa yang anaknya masih pake popok sekali pakai atau diaper? Mau tau dong apa alasannya pakai popok sekali pakai? 

Aku tinggal di daerah pegunungan yang dingin dan teman-temanku sudah memiliki anak baik yang masih bayi maupun sudah berumur 5 tahun. 

Saat kutanya, "Apa alasan pakai popok sekali pakai?"

Jawabannya karena praktis, gampang, nggak repot, dan katanya biar nggak kasihan anaknya kedinginan. 

Saat bayiku baru lahir, banyak juga yang memberikan saran untuk menggunakan diaper atau popok sekali pakai dimalam hari biar bayinya nggak kedinginan. 

Namun, ibuku memang hanya mendengar saran itu tapi tidak memaksaku untuk memakaikan popok sekali pakai pada anakku. Karena ibu tahu bahaya dari popok sekali pakai untuk lingkungan. 

Senang sekali, ibu mendukung keputusanku untuk sebisa mungkin tidak pakai popok sekali pakai. Ketika mendengar saran itu jiwa aktivis lingkungan dalam diriku meronta-ronta. Ingin kukatakan bahwa popok sekali pakai itu nggak baik. 

Ada fakta yang mencengangkan, menurut berita dari mongabay  menyatakan bahwa berdasarkan riset Bank Dunia tepatnya pada tahun 2017 ditemukan bahwa sampah popok sekali pakai menjadi sampah terbanyak kedua di dunia setelah sampah organik.

Sampah yang mencemari dunia ini pada urutan pertama adalah sampah organik sebesar 44%, sampah popok sekali pakai sebanyak 21%, sampah tas plastik sebanyak 16%, sampah lain sebanyak 9%, pembungkus plastik sebanyak 5%, beling dan kaca sebanyak 4% serta botol plastik sebanyak 1%. 

Wah, ternyata sampah dari aktivitas rumah tangga menyumbang paling banyak sampah di dunia ini mulai sampah organik dan sampah popok sekali pakai. 

Nah loh, ngeri bukan? 

Memang sih dengan pakai popok sekali pakai untung di kita sebagai ibu. Kita bisa nggak ribet bolak-balik ganti baju si dedek. Kalau kemana-mana nggak perlu khawatir bocor di jalan. Pokoknya kita sebagai orang tua diuntungkan banget.

Tapi, ternyata apa yang kita perbuat menyakiti makhluk Allah yang lain loh. Dengan menggunakan popok sekali pakai kita membuat kehidupan biota laut terganggu. Walaupun tempat tinggal kita jauh dari laut.

Perlu aku tekankan bahwa ketika kita membuang sampah popok sekali pakai di tempat pembuangan sampah itu bukan berarti sampah itu menghilang. Plastik sampah itu butuh waktu lama untuk hancur.

Nah, sampah popok sekali pakai itu dari satu tempat pembuangan sampah akan berpindah-pindah hingga berujung pada laut. 

Infografis Bahaya Sampah Popok Bagi Lingkungan
sumber: tirto.id 

Dampak sampah popok terhadap lingkungan itu bisa mempengaruhi reproduksi biota air, menurunkan kemampuan menetas pada telur ikan dan membawa bakteri E-coli. Wah ngeri kan ya?

Bayangkan kalau ikan sudah tidak bertelur? Apa yang terjadi?
Wah serem pokoknya. 

Makanya ketika aku punya bayi, aku memutuskan bahwa pokoknya aku pengen bayiku nggak pakai popok sekali pakai. Kenapa aku memutuskan begitu?

Alasan awal karena aku sendiri merasa tidak suka ketika melihat air kencing atau kotoran yang membuat popok sekali pakai menggelembung layaknya balon. Kemudian, masa sih harus dibuang dalam keadaan seperti itu?

Alasan lain adalah aku bingung akan membuang popok sekali pakai ini dimana? Kalau dibakar, itu juga berbahaya. Nah, alasan terakhir, karena aku peduli lingkungan. 

Aku tak ingin menyumbang dosa jariah hanya karena perilaku yang aku lakukan menggunakan popok sekali pakai. 

Lantas, apa alternatifnya?

Alternatif yang aku lakukan adalah dengan menggunakan clodi (popok kain yang bisa dicuci). Pada empat puluh hari pertama, aku membiarkan si bayi menggunakan popok kain biasa. Jadi setiap kali pipis ataupun buang air besar harus diganti.

Barulah setelah empat puluh hari, aku pindah memutuskan menggunakan clodi untuk si bayi.


5 Alasan Menggunakan Clodi 

Cloth Diaper (Clodi)
sumber : pixabay.com

Apa alasanku menggunakan clodi untuk baby Salman? Berikut ini alasan yang membuatku bisa istiqomah hingga si baby umurnya hampir 9 bulan masih menggunakan clodi dan belum pernah sama sekali menggunakan popok sekali pakai. 

1. Bisa Dipakai Berkali-kali

Kalau pakai popok sekali pakai, ya kalau udah kena pipis dan poop baby langsung dibuang. Berbeda dengan clodi. Clodi bisa dipakai berkali-kali dengan mencucinya dan mengeringkannya. 

Buat aku sendiri, dengan menggunakan clodi, air pipis menyerap ke kain sehingga tidak seperti popok sekali pakai yang kalau terisi penuh ada yang sampai terlihat menggelembung. 

2. Ikut Menjaga Bumi 

Sebagai mantan aktivis lingkungan yang sering ikut forum seperti youth environmental leader summit, youth for climate change hingga bergabung menjadi volunteer greenpeace maka jiwa aktivis lingkunganku selalu mempengaruhi dalam pengambilan keputusan.

Seperti dalam memutuskan penggunaan clodi ini. Aku tahu bahaya plastik dan plastik itu susah hancur sehingga mencemari lingkungan. Sehingga aku pengen bisa melakukan tindakan yang bisa membantu menjaga bumi. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan clodi ini. 

3. Lebih Menghemat Pengeluaran

Nah, ibu-ibu biasanya tuh teliti banget sama pengeluaran. Memang sih diawal itu kita seperti keluar uang banyak untuk beli clodi. Karena satu set clodi itu harganya bisa diatas Rp. 70.000. Tapi kalau dibandingkan dengan penggunaan popok sekali pakai jelas lebih hemat.

Katakanlah satu bulan perlu keluar Rp. 200.000 untuk membeli popok sekali pakai. Hitung saja dalam satu tahun berarti habis Rp. 2.400.000. Bandingkan jika ibu-ibu beli delapan clodi, katakanlah harga satu set clodi Rp.70.000 maka modal beli clodi Rp. 560.000.

Nah, clodinya bisa dipakai sampai usia satu tahun misalnya. Jadi lebih hemat dong. Terus bisa juga diturunkan pada adiknya kelak.

4. Lebih Ramah Kulit

Nah, masalah yang biasanya muncul ketika bayi menggunakan popok sekali pakai adalah munculnya ruam. Hal ini disebabkan salah satunya karena ada zat kimia di popok sekali pakai.

Berbeda dengan clodi, clodi lebih ramah di kulit bayi karena murni hanya menggunakan kain khusus. Sehingga tak perlu khawatir ada ruam di kulit bayi.

5. Bisa Mendidik Pra Toilet Training

Dengan menggunakan clodi bayi bisa lebih peka. Peka apabila clodinya sudah harus diganti. Karena bila clodi sudah menampung banyak air pipis akan lebih lembap sehingga ini melatih bayi sebelum masuk toilet training.

Nah, itulah alasanku mengapa menggunakan clodi untuk baby Salman. Doakan istiqomah ya.

KESIMPULAN

Lewat tulisan ini dengans setulus hati, aku ingin mengajak pembaca tulisan ini khususnya ibu-ibu untuk bisa berpindah menggunakan clodi. Mengapa? Agar kita tak ikut men-dzolimi makhluk ciptaan Allah yang lainnya.

Ada hadits yang sungguh indah tentang menyayangi binatang,

"Sayangilah makhluk yang ada di bumi,niscaya yang di langit akan menyayangimu." (HR. Thabrani)

Memang semua itu pilihan. Namun, apa salahnya mengajak kepada kebaikan. Selamat memberikan yang terbaik untuk buah hati dan juga lingkungan!


Sumber Referensi : 


Notes :
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan oleh KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya bisa anda lihat disini. 





  • Share:

You Might Also Like

14 komentar

  1. Masya Allah...senang baca cerita tentang penyu itu. Reminder ini bagi saya dan semua untuk makin peduli menjaga bumi.
    Btw, 15 tahun lalu saat anak sulung saya bayi, saya pakai diapers hanya saat pergi-pergi. Selebihnya ya popok kain biasa karena jaman itu belum marak clodi.
    Lima tahun kemudian giliran adiknya bayi, sampai usianya 2 tahun saya tinggal di Amerika. Di mana di apartemen ada aturan tentang kebersihan, dll. Belum lagi nyuci memang pakai washer dryer. Jadi dua tahun itu nyaris full diapers. Syukur kini ada clodi yang ramah lingkungan pun punya banyak keuntungan. Semoga makin banyak orang tua yang peduli memakaikannya ke bayi demi menjaga bumi

    BalasHapus
  2. Tidak hanya sampah di lautan mbak yang bikin sedih. Masih banyak juga orang yang membuang sampah di sungai, selokan, bahkan parit untuk pengairan sawah, alhasil ketika hujan deras, sampah-sampah itu meluap memenuhi jalanan sampai kotor sekali. Saya juga memakai clodi waktu anak ketiga, baru nemu soalnya. Alasannya juga hampir sama dengan mbak. Paling tidak kita mulai dari diri kita sendiri ya mbak untuk menjaga kelestarian lingkungan, terutama dengan mengurangi sampah plastik.

    BalasHapus
  3. Kepraktisan yang ditawarkan popok sekali pakai ternyata tidak baik yang mba untuk lingkungan. Reminder buatku yang masih punya balita. Saya dulu sempat pakai clodi tapi hanya di 6 bulan pertama anak lahir, setelahnya full pospak. Setelah baca tulisan Mba Nabila jadi tersadar rupanya clodi masih jauh lebih baik.

    BalasHapus
  4. Duh jadi teringat anak saya yang belum juga lulus toilet training, alias mamaknya terlampau sok sibuk sendiri nih.
    Anak saya pakai popok sekali pakai pula, kebayang deh udah berapa sampah atau limbah yang dia sumbangkan, semoga anak saya segera lulus TT deh, biar nggak lagi nyumbang limbah popok :)

    BalasHapus
  5. Jadi ingat clodi punya anak saya saat masih batuta. Sampai sekarang masih ada, saya simpan dengan baik karena memang bisa dipakai ulang. Bisa ikut berkontribusi meski dengan hal kecil sekalipun ya

    BalasHapus
  6. bener ya mba, sampah popok tuh bikin sedih lihatnya. tapi kita masyarakat juga banyak yang belum paham nih celana popok begini. kalau ponakan juga udah pakai. tapi mungkin untuk sebagian orang lebih nyaman pakai pokok sekali pakai.

    BalasHapus
  7. duh reminder banget buat aku, anak keduaku malah banyak pakai pospak karena blm bs meluangkan waktu buat nyuci clodi. padahal udh sedia klodi, bismillah bulan ini siap siap hijrah lg ke clodi

    BalasHapus
  8. MasyaAllah ... Menginspirasi sekali, Mbak.

    Dulu saat sulung lahir, saya menggunakan popok sekali pakai. Alasannya ya itu, biar nggak ribet. Egois sekali, ya. Saya baru kenal clodi saat anak kedua lahir. Dihadiahi oleh sahabat lama semasa SMP. Dia yang tahu kondisi saya sedang sulit secara ekonomi nggak mau saya terbebani dengan biaya membeli popok sekali pakai. Itu sebabnya dia memberikan satu lusin clodi. Bayangin, banyak banget itu! MasyaAllah ... Alhamdulillah ...

    Jadi deh, anak kedua pakai clodi sampai dia lulus toilet training.

    BalasHapus
  9. Zaman dulu sih memang belum usum diapers sih. Mahiil banget. Aku ya pakek popok bikin sendiri sih. Trus ya pakein celdal aja. Memang jadi udh lulus TT sebelum 2 thn. Sekarang serba praktis, tetapi ternyata sampahnya numpuk...Semoga pada milih clodi aja ya. Lebih repot sih, tapi demi keberlanjutan lingkungan...

    BalasHapus
  10. Menggunakan clodi adalah cara nyata yg bisa dilakukan ibu buat mengatasi perubahan iklim ya mbak.
    Cara yg sederhana tapi bermakna

    BalasHapus
  11. Aku agak telat nih memakaikan clodi ke anak. Baru pas umur setahunan pakai, itu juga masih mix sama popok sekali pakai. Aku mendukung sekali penggunaan clodi sih, agar mengurangi sampah. Begitu juga dengan menstrual pad

    BalasHapus
  12. Ya Allah kasihan ya penyunya. Jadi merasa bersalah karena masih belum optimal menjaga bumi. ANak yang kedua waktu baby alhamdulillah pakai clody meski nggak setiap hari. Makanya pas toilet training terasa lega karena bisa mengurangi sampah di bumi.

    BalasHapus
  13. Enak lo zaman skrg udah banyak pilihan clodi, bagus2 pulak ya. Aku aja gemes. Dulu zaman anak2ku bayik, adanya hanya popok plastik. Jadi bikin sendiri bagian yg diinsert itu pakai kain lembut. Masangnya pun kudu terlatih, krn kalo enggak, bisa bocor dan gak rapi.

    BalasHapus
  14. Ulasan yang jadi masukan untukku pribadi, saat ini masih termasuk pengguna popok sekali pakai.
    Saat ini sudah mulai mentatur anak bayi..semoga langkah ini bisa mengurangi sampah popok sekali pakai dari keluarga kami.

    BalasHapus